Welcome To My Blog's

Remember

Sabtu, 30 Juli 2011

SIKAP MENERIMA


Dalam hati setiap orang ada kebutuhan untuk merasa dicintai tanpa harus diperiksa dahulu apakah ia pantas menerimanya.~ Maurice Wagner ~

Joe agak pemalu ketika masih remaja, dan bahkan ketika sudah duduk di perguruan tinggi, ia juga tidak memiliki keberanian untuk mengajak kencan seorang gadis. Pada suatu malam, Jake yang tinggal di kamar lain di asrama yang sama memberinya tawaran yang tak dapat ditolaknya, tawaran untuk memperkenalkannya dengan seorang gadis, teman pacar Jake, yang kebetulan sedang berkunjung untuk liburan akhir pekan."Tidak, terima kasih," sahut Joe. "Aku tidak mau kencan buta.""Jangan khawatir dengan gadis ini," kata Jake meyakinkan Joe. "Julie gadis istimewa, dan percayalah ia cantik.""Tidak," ulang Joe."Ini bukan situasi yang mungkin gagal. Aku bahkan memberimu jalan keluar,"papar Jake."Bagaimana ?" tanya Joe. "Waktu kita menjemput ke asrama mereka, tunggulah sampai ia keluar dari pintu, lalu periksalah sendiri. Bila kamu memang menyukainya, maka baguslah, kita akan menikmati malam yang menyenangkan. Tapi kalau menurutmu ia jelek,berpura-puralah terkena serangan asma. Cukup dengan 'Aaahhggggg !' lalu kaupegang tenggorokanmu seolah-olah sulit bernapas. Apabila ia bertanya, 'Ada apa ?' katakan saja 'Asmaku kambuh.' Jadi kencan itu kita batalkan. Begitu saja. Tidak usah ragu. Tidak akan ada masalah."
Joe ragu-ragu. Akan tetapi ia setuju untuk mencobanya. Apa ruginya? Ketika mereka tiba di pintu asrama mereka, Joe mengetuk pintu, maka keluarlah gadis itu. Joe mengamatinya dan tidak dapat mempercayai matanya. Ia cantik sekali. Betapa beruntungnya dia ? Ia hampir tidak tahu harus berkata apa. Gadis itu juga mengamati Joe dan tiba-tiba, "Aaahhggggg !"Tampaknya tidak hanya mereka yang telah menyiapkan rencana darurat.
Kebanyakan kita, entah kapan, pernah ditolak oleh seseorang karena kita tidak cukup cerdas, tidak cukup jangkung, tidak cukup gagah, tidak cukup tampan, tidak cukup cantik, dan sebagainya ... Betapa beratnya ketika kita ditolak. Apabila kita menerima seseorang tanpa syarat, kita memberi mereka kebebasan untuk berada di luar diri mereka sendiri. Penerimaan yang tulus memungkinkan kita melihat nilai sesungguhnya seorang manusia.
Seorang wanita muda yang pernah bertunangan dengan Mozart, sebelum dia meraih ketenaran, seharusnya hidup senang, andaikata ia mau menerima Mozart tanpa syarat. Namun karena terkesan oleh pria lain yang lebih tampan, ia menjadi tidak suka kepada musisi ini hanya karena ia pendek. Wanita itu akhirnya memutuskan pertunangan mereka untuk pindah ke pelukan orang yang jangkung dan menarik. Ketika dunia mulai mengakui Mozart atas prestasinya yang luar biasa dalam bidang musik, wanita tersebut menyesal dengan keputusannya dahulu. "Aku tidak menyangka bahwa ia sejenius itu. Yang kulihat hanyalah bahwa ia pendek."
Sikap menerima mengkomunikasikan cinta dan nilai dan memberi orang percaya diri untuk menjadi seperti apa adanya. Sikap menerima juga memungkinkan mereka menjadi siapapun mereka sampai mereka menjadi apapun semampu mereka. Ketika kita mencoba memaksa orang agar mereka menjadi seperti yang kita inginkan, kecenderungan mereka untuk mempertahankan diri, keras kepala, dan sakit hati muncul. Namun, apabila Anda memberi mereka peluang untuk menolak perubahan itu, berarti Anda juga memberi mereka kebebasan untuk berubah.
Berhentilah menerima orang berdasarkan apa yang dapat, harus, atau akan terjadi pada mereka andaikata mereka mendengarkan Anda. Kita akan terus memandang seseorang melalui kacamata keharusan, kepantasan, tuntutan dan prasangka sampai kita menerima orang lain tanpa syarat.
Eugene Kennedy pernah berkata, "Ketika seseorang menghargai kita apa adanya, ia mempertegas keberadaan kita.”

* * * * *

MANAGEMEN WAKTU


Suatu hari, seorang ahli 'Managemen Waktu' berbicara didepan sekelompok mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan para siswanya. Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata, "Baiklah, sekarang waktunya kuis." Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran satu galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya diatas meja. Lalu ia juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan dengan hati-hati batu-batu itu kedalam toples. Ketika batu itu memenuhi toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke dalamnya, dia bertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?" Semua siswanya serentak menjawab, "Sudah."
Kemudian dia berkata, " Benarkah? Dia lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah2 batu-batu itu. Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi, "Apakah toples ini sudah penuh?" Kali ini para siswanya hanya tertegun, "Mungkin belum", salah satu dari siswanya menjawab. "Bagus!" jawabnya Kembali dia meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang-ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan.
Sekali lagi dia rbertanya, "Apakah toples ini sudah penuh?"
"Belum!" serentak para siswanya menjawab. Sekali lagi dia berkata, "Bagus!”. Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung atas. Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kpd para siswanya dan bertanya, "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"
Seorang siswanya yg antusias langsung menjawab, "Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya"
"Bukan", jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita bahwa : Kalau kamu tidak meletakkan batu besar itu sebagai yg pertama, kamu tidak akan pernah bisa memasukkannya ke dalam toples sama sekali.
Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, pendidikanmu, mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam hidupmu. Hobbymu. Waktu untuk dirimu sendiri. Kesehatanmu. Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar ini sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk melakukannya.
"Jika kamu mendahulukan hal-hal kecil (kerikil dan pasir) dalam waktumu maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal kecil, kamu tidak akan punya waktu berharga yg kamu butuhkan untuk melakukan hal-hal besar dan penting (batu-batu besar) dalam hidupmu."


* * * * *

MASIH LEBIH MUDAH BAGI KITA


Seperti yang sudah saya duga. Sekeping gopekan keluar lagi dari jendela mobil. Penasaran saya makin betambah. Ini bukan yang pertama kali. Sering. Teramat sering malah. Tapi apa alasannya? Sulit bagi saya untuk mengerti. Mereka bukan tak bisa. Hanya kurang berusaha saja. Memberi uang sama artinya dengan memberikan persetujuan dan pembenaran. Sedangkan kita sudah selayaknya memberikan pelajaran. Kenapa dia harus selalu memberi? Tanpa pernah memilih lagi.
Dulu. Pertama kali saya menjadi anak buahnya. Seorang penjual pengharum ruangan masuk ke kantor. Meskipun di pintu depan sudah tertulis besar-besar "PARA PEDAGANG DAN PEMINTA SUMBANGAN DILARANG MASUK". Tetap saja tiada hari tanpa pedagang keliling dan peminta sumbangan di kantor ini. Entah mereka sudah bebal atau kebal, saya juga tidak tahu. Penjual pengharum itu berkeliling ke meja-meja pegawai, menawarkan dagangannya. Sebagian cuek, sebagian lagi menolak dengan halus. Ada pula yang menawar, tapi akhirnya tidak jadi membeli. Ketika para pedagang itu sampai di meja si bapak, tanpa banyak kata, si bapak mengambil beberapa buah barang dagangannya dan membayar tanpa menawar. Beberapa kali kejadian semacam berulang. Si Bapak hampir selalu membeli barang dagangan setiap pedagang yang masuk ke ruangan kami. Pernah suatu saat saya bertanya kenapa beliau suka membeli barang dari para pedagang yang ke kantor. "Siapa lagi yang akan membeli kalau bukan kita? Sudah terlalu banyak yang berbelanja di mall. Biarlah saya berbelanja pada mereka", begitu jawab beliau.
Namun ternyata bukan hanya itu. Kalau membeli barang dagangan, sebagaimana alasannya di atas, saya bisa menerima dan mengerti. Tapi ternyata dia juga selalu memberi kepada para peminta sumbangan yang bergantian datang ke kantor kami.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa tak semua peminta sumbangan itu benar-benar peminta sumbangan untuk masjid, anak yatim piatu atau sejenisnya. Banyak dari mereka yang menggunakan metode peminta sumbangan untuk menghidupi diri. Dan saya pernah mengingatkan bapak ini tentang hal itu. Tapi ia tak berkomentar.
Beberapa hari terakhir, beliau hampir selalu memberikan koran harian pada saya. Beliau tahu saya suka membaca. "Saya tak butuh koran itu," kata beliau. "Lantas mengapa membeli?" tanya saya. "Karena saya tahu tak banyak orang yang membeli koran dari tukang koran seperti dia,". Itu jawabnya.
Dan kini? Ini sudah kesekian kali, ketika saya satu mobil dengan beliau karena ada tugas keluar kantor. Peristiwa yang sama terjadi kembali. Beliau memberi uang kepada setiap peminta-minta di jalanan, baik yang memang terang-terangan meminta-minta, mengamen, polisi cepek maupun yang setengah memalak dengan 'berorasi'. Kali ini saya tak lagi bisa diam. Menurut saya apa yang beliau lakukan tidak mendidik, membuat mereka makin malas, tak mau bekerja keras dan mengharapkan uluran tangan seperti ini. Setidaknya, kalau mau memberi, hendaknya kita pilih-pilih, mana yang tampak betul-betul membutuhkan. Atau, kalau mau berinfak kenapa tidak melalui lembaga yang benar-benar dapat dipercaya akan menyampaikan amanah kepada yang benar-benar berhak? Saya memberondongnya dengan sebuah argumentasi panjang.
"Saya tak yakin dengan tidak memberi akan mendidik mereka. Semestinya ada orang-orang yang aware dengan program penyadaran itu. Tugas merekalah yang menyadarkan. Sedang saya, hanya ini yang bisa saya lakukan. Mungkin mereka memang tak sungguh-sunguh miskin, bisa jadi mereka hanya malas. Tapi saya yakin, jika mereka bisa semudah kita mencari rizki, mereka tak akan melakukan itu semua. Jika karena tak ada yang mau memberi mereka kelaparan, lantas kepada siapa mereka meminta. Kemana mereka mencari? Sedang kita? Kalaupun harta kita habis karena mereka, setidaknya masih lebih mudah bagi kita untuk mencari lagi dengan bekal kemampuan yang diberikan Allah pada kita."
Uraian panjang lebarnya membuat saya tertegun. Masih lebih mudah bagi kita. Ya, masih lebih mudah bagi kita mendapat rezeki dibanding para tukang koran. Masih lebih mudah bagi kita mencari penghidupan dibanding para pedagang asongan. Masih lebih mudah bagi kita mencari makan dibanding para pengamen jalanan. Masih lebih mudah bagi kita meminta bantuan teman, dibanding mereka, gelandangan tak berkawan. Masih lebih mudah bagi kita.

* * * * *

SANDAL KULIT SANG RAJA


Seorang Maharaja akan berkeliling negeri untuk melihat keadaan rakyatnya. Ia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Baru beberapa meter berjalan di luar istana kakinya terluka karena terantuk batu. Ia berpikir, "Ternyata jalan-jalan di negeriku ini jelek sekali. Aku harus memperbaikinya."
Maharaja lalu memanggil seluruh menteri istana. Ia memerintahkan untuk  melapisi seluruh jalan-jalan di negerinya dengan kulit sapi yang terbaik. Segera saja para menteri istana melakukan persiapan-persiapan. Mereka mengumpulkan sapi-sapi dari seluruh negeri.
Di tengah-tengah kesibukan yang luar biasa itu, datanglah seorang pertapa menghadap Maharaja. Ia berkata pada Maharaja, "Wahai Paduka, mengapa Paduka hendak membuat sekian banyak kulit sapi untuk melapisi jalan-jalan di negeri ini, padahal sesungguhnya yang Paduka perlukan hanyalah dua potong kulit sapi untuk melapisi telapak kaki Paduka saja."

Konon sejak itulah dunia menemukan kulit pelapis telapak
kaki yang kita sebut "Sandal".


~~~~~~~~~~

Ada pelajaran yang berharga dari cerita itu. Untuk membuat dunia menjadi tempat yang nyaman untuk hidup, kadangkala, kita harus mengubah cara pandang kita, hati kita, dan diri kita sendiri, dan bukan dengan jalan mengubah dunia itu.
Karena kita seringkali keliru dalam menafsirkan dunia. Dunia, dalam pikiran kita, kadang hanyalah suatu bentuk personal. Dunia, kita artikan sebagai milik kita sendiri, yang pemainnya adalah kita sendiri. Tak ada orang lain yang terlibat disana, sebab, seringkali dalam pandangan kita, dunia, adalah bayangan diri kita sendiri.
Ya, memang, jalan kehidupan yang kita tempuh masih terjal dan berbatu. Manakah yang kita pilih, melapisi setiap jalan itu dengan permadani berbulu agar kita tak pernah merasakan sakit, atau, melapisi hati kita dengan kulit pelapis, agar kita dapat bertahan melalui jalan-jalan itu?

MENSYUKURI HIDUP..!


Gambaran  ini  tercermin  pada  kisah  seorang  laki-laki  paruh  baya yang bermimpi mendapat warisan senilai 1 juta dollar AS.
Suatu pagi, karena merasa terlambat bangun, ia segera pergi ke kamar mandi. Ternyata  air  PAM  tidak  mengucur.  Ketika akan memasak air untuk membuat sarapan dan kopi, kompornya tidak bisa dipakai lantaran kehabisan gas.
Saat akan  mengambil  koran  pagi  di  teras rumah, kosong. Koran tidak diantar. Setelah  berpakaian  rapi, ia mencegat taksi di depan rumah untuk berangkat ke  kantor. Tidak ada satu pun taksi yang muncul. "Aneh!" pikirnya. Mengapa kota  menjadi  senyap?  Pria tersebut bertanya kepada seseorang yang tampak berjalan tergesa-gesa dari ujung jalan.  "Apa yang terjadi?" Dengan  nafas  terengah yang ditanya berteriak, "Anda belum mendengar? Hari ini  semua  warga  kota  mendapat  warisan  masing-masing 1 juta dollar AS. Jadi, tak ada lagi orang yang mau bekerja."
"Hah!"  si  penanya terlonjak kaget.  Seketika, ia terbangun dari tidurnya. Diam  sejenak,  oh ternyata semua ini hanya mimpi. Ia pun segera ke kamar mandi. Syukurlah, air PAM mengucur deras. Segar! Setelah itu, ia memanggang roti  dan membuat kopi untuk sarapan. Enak! Apalagi sambil baca koran baru.
Tak  berapa  lama  ia keluar rumah, taksi langganannya sudah siap menunggu. Sesampai di kantor, ia menjadi lebih bersemangat dalam bekerja. Apa  yang bisa membuat rutinitas hidup ini menyenangkan?

Jawabannya,
ketika kita   " B I S A "  bersyukur atas semua yang kita miliki !


* * * * *

Talk & Share


ShoutMix chat widget