Diambil dari Buku Si Cacing & Kotoran Kesayangannya
Ajahn Brahm
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
Setelah kami membeli tanah untuk wihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangunan di atas tanah itu, bahkan sebuah gubuk pun tak ada. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu-pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjal pintu-pintu itu dengan batu bata di setiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras - tentu saja, kami kan petapa hutan).
Biksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu yang datar. Pintu saya bergelombang dengan kubang yang cukup besar di tengahnya, yang dulunya tempat gagang pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetapi malah jadi ada lubang persis di tengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tak perlu bangkit dari ranjang jika ingin ke toilet! Kenyataanya, ada saja, angin masuk melewati lubang itu. Saya jadi tak bisa tidur nyenyak sepanjang malam-malam itu.
Kami hanyalah biksu-biksu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang. Bahan-bahan bangunannya saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang: bagaimana mempersiapkan pondasi, menyemen, memasang batu bata, mendirikan atap, memasang pipa-pipa--pokoknya semua. Saya adalah seorang fisikawan teori dan guru SMA sebelum menjadi biksu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan saya menjuluki tim saya "BBC"(Buddhist Building Company). Tetapil pada saat memulainya, ternyata bertukang itu sangatlah sulit.
Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lainnya malah jadi naik. Lalu saya ratakan sisi yang naik itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!
Sebagai seorang biksu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastika setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya, saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya melihatnya--oh, tidak!--saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.
Saat itu, semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala wihara apakah saya boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala wihara bilang tak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.
Ketika saya membawa tamu pertama kami berkunjung keliling wihara kami yang setengah jadi, saya selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.
"Itu tembok yang indah," ia berkomentar dengan santainya.
"pak," saya menjawab dengan terkejut, "apakah kacamata Anda tertinggal di mobil? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?"
Apa yang ia ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkenaan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata,"Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 batu bata yang bagus."
Saya tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua bata jelek itu. Selama ini, mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat; saya terbutakan dari hal-hal lainnya. Itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang, saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. Tembok itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, "Sebuah tembok yang indah." Tembok itu masih berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, namun saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.
Berapa banyak orang yang memutuskan hubungan atau bercerai Karena semua yang mereka lihat dari diri pasangannya adalah"dua bata jelek"? Berapa banyak di antara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh dirim karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah "dua bata jelek"? Pada kenyataanya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata yang bagus--di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari yang jelek--namun pada saat kita tak mampu melihatnya. Malahan, setiap kali kita melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang, sayangnya, kita benar-benar menghancurkan "sebuah tembok yang indah".
Kita semua memiliki "dua bata jelek", namun bata baik di dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada bata yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak terlalu buruk lagi. Bukan hanya kita berdamai dengan diri sendiri termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, namun kita juga bisa menikmati hidup bersama pasangan kita. Ini kabar buruk bagi pengacara urusan perceraian, tetapi ini kabar baik bagi Anda.
Saya telah beberapa kali menceritakan anekdot ini. Pada suatu pertemuan, seorang tukang bangunan mendatangi dan memberi tahu saya tentang rahasia profesinya.
"Kami para tukang bangunan selalu mebuat kesalahan,"katanya,"tetapi kami bilang ke pelanggan kami bahwa itu adalah"ciri unik"yang tiada duanya di rumah-rumah tetangga. Lalu kami menagih biaya tambahan ribuan dolar!"
Jadi, "ciri unik" di rumah Anda, bisa jadi, awalnya adalah suatu kesalahan. Dengan cara yang sama, apa yang Anda kira sebagai kesalahn pada diri Anda, rekan Anda, atau hidup pada umumnya, dapat menjadi sebuah"ciri unik", yang memperkaya hidup Anda di dunia ini, tatkala Anda tidak lagi terfokus padanya.
~Ven Ajahn Brahm~
Label
- Ajahn Brahm Stories (6)
- ESET NOD32 Keys (4)
- Read Mindfully (62)
- Tugas (16)
Rabu, 26 Januari 2011
-- renungan harian
Diambil dari Buku Horeee! Guru Si Cacing Datang
Hendra Widjaja & Handaka Vijjananda
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
(Ada sedikit kata-kata dari cerita asli yang saya hilangkan di sini) :)
Suatu ketika, lima jari tangan cekcok memperdebatkan mana di antara mereka yang paling penting. Ibu jari berkata, "Aku yang terpenting karena akulah jari yang terbesar. Tiap kali ada sesuatu yang bagus atau baik, pasti orang akan mengacungkan diriku. Ini membuktikan, akulah yang paling hebat!"
Si jari telunjuk tidak mau kalah, dan menukas, "Salah! Akulah yang terpenting karena aku sering digunakan untuk menunjuk. Karena itu, pastilah aku yang paling hebat!"
Si jari tengah membalas sengit, "Akulah yang terpenting karena di antara kita semua, akulah yang paling tinggi. Jadi, tidak salah lagi, akulah yang paling top di antara kita semua!"
Jari manis tidak ketinggalan menjawab, "Akulah sebenarnya yang terpenting karena dirikulah yang dikenakan cincin pernikahan. Akulah lambang kebahagiaan keluarga. Karena itu, akulah yang teragung!"
Yang terakhir, jari kelingking, berkata keuts, "Akulah yang terpenting karena aku sering bekerja keras. Aku juga biasa dipakai membersihkan kotoran kuping dan hidung!"
Tidak masalah jari manakah yang terbaik. Kita perlu semua jari itu di tiap tangan kita. Sesungguhnya, kelima jari harus bekerja sama. Jika ada satu jari terluka, semuanya bisa terinfeksi. Semua jari harus saling menyayangi. Jari-jari itu seperti kita, seperti keluarga kita: mama, papa, saudara, saudari, harus saling merawat. Saudara kecil menjaga yang tua, dan sebaliknya. :)
~Ven Ajahn Brahm~
Hendra Widjaja & Handaka Vijjananda
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
(Ada sedikit kata-kata dari cerita asli yang saya hilangkan di sini) :)
Suatu ketika, lima jari tangan cekcok memperdebatkan mana di antara mereka yang paling penting. Ibu jari berkata, "Aku yang terpenting karena akulah jari yang terbesar. Tiap kali ada sesuatu yang bagus atau baik, pasti orang akan mengacungkan diriku. Ini membuktikan, akulah yang paling hebat!"
Si jari telunjuk tidak mau kalah, dan menukas, "Salah! Akulah yang terpenting karena aku sering digunakan untuk menunjuk. Karena itu, pastilah aku yang paling hebat!"
Si jari tengah membalas sengit, "Akulah yang terpenting karena di antara kita semua, akulah yang paling tinggi. Jadi, tidak salah lagi, akulah yang paling top di antara kita semua!"
Jari manis tidak ketinggalan menjawab, "Akulah sebenarnya yang terpenting karena dirikulah yang dikenakan cincin pernikahan. Akulah lambang kebahagiaan keluarga. Karena itu, akulah yang teragung!"
Yang terakhir, jari kelingking, berkata keuts, "Akulah yang terpenting karena aku sering bekerja keras. Aku juga biasa dipakai membersihkan kotoran kuping dan hidung!"
Tidak masalah jari manakah yang terbaik. Kita perlu semua jari itu di tiap tangan kita. Sesungguhnya, kelima jari harus bekerja sama. Jika ada satu jari terluka, semuanya bisa terinfeksi. Semua jari harus saling menyayangi. Jari-jari itu seperti kita, seperti keluarga kita: mama, papa, saudara, saudari, harus saling merawat. Saudara kecil menjaga yang tua, dan sebaliknya. :)
~Ven Ajahn Brahm~
-- renungan harian
Diambil dari Buku Horeee! Guru Si Cacing Datang
Hendra Widjaja & Handaka Vijjananda
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
Suatu hari, di Australia, ada seorang anak berusia 6 tahun yang menunggu-nunggu ayahnya pulang dari kerja. Begitu ayahnya pulang dalam keadaan letih, anak ini berkata kepadanya, "Papa, berapa sih gaji papa per jamnya?"
Ayahnya itu menukas, "Itu bukan urusan kamu! Papa capek!"
"Papa, berapa dollar sih gaji yang Papa peroleh?"
"Papa bilang, jangan ganggu Papa!"
"Tapi, Papa, berapa dollar yang Papa dapat sih?"
Lalu Papanya menjadi marah dan berteriak, "Diam! Dasar anak nakal! Masuk ke kamarmu sana!"
Dengan kepala terkulai, si anak ini masuk ke kamarnya. Ia tengah dihukum. Sekitar setengah jam kemudian, si ayah mulai merasa bersalah. Sekalipun pertanyaan itu terasa sepele karena ditanyakan seorang anak kecil, si ayah tidak sepantasnya berteriak. Tapi, memang kadan seperti itulah kalau kita pulang dalam keadaan lelah setelah seharian sibuk bekerja. Jadi si ayah menuju ke kamar anaknya, mengetuk pintu, dan masuk ke dalamnya. Ia berkata, "Nak, maafkan Papa yah..., Papa tidak semestinya berteriak tadi. Papa capek. Papa tidak tahu kenapa kamu kepingin tahu. Tapi, gaji papa $20 per jam."
Dan si anak kecil tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Pa....Sekarang, boleh saya pinjam $10?"
Si ayah pun hampir naik pitam lagi. Tapi ia ingat bahwa baru saja tadi ia marah. Ia menahan marahnya, mengambil dompet dan berkata, "Nih uangnya!"
Lalu si anak tersenyum, dan berkata, "Terima kasih, Pa...."
Segera ia bergegas mengambil recehan uang yang berjumlah $10 dari bawah bantalnya. Total uang $20 itu diberikannya kepada si ayah seraya berkata, "Papa, bolehkah saya minta 1 jam waktu Papa?"
~Ven Ajahn Brahm~
Hendra Widjaja & Handaka Vijjananda
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
Suatu hari, di Australia, ada seorang anak berusia 6 tahun yang menunggu-nunggu ayahnya pulang dari kerja. Begitu ayahnya pulang dalam keadaan letih, anak ini berkata kepadanya, "Papa, berapa sih gaji papa per jamnya?"
Ayahnya itu menukas, "Itu bukan urusan kamu! Papa capek!"
"Papa, berapa dollar sih gaji yang Papa peroleh?"
"Papa bilang, jangan ganggu Papa!"
"Tapi, Papa, berapa dollar yang Papa dapat sih?"
Lalu Papanya menjadi marah dan berteriak, "Diam! Dasar anak nakal! Masuk ke kamarmu sana!"
Dengan kepala terkulai, si anak ini masuk ke kamarnya. Ia tengah dihukum. Sekitar setengah jam kemudian, si ayah mulai merasa bersalah. Sekalipun pertanyaan itu terasa sepele karena ditanyakan seorang anak kecil, si ayah tidak sepantasnya berteriak. Tapi, memang kadan seperti itulah kalau kita pulang dalam keadaan lelah setelah seharian sibuk bekerja. Jadi si ayah menuju ke kamar anaknya, mengetuk pintu, dan masuk ke dalamnya. Ia berkata, "Nak, maafkan Papa yah..., Papa tidak semestinya berteriak tadi. Papa capek. Papa tidak tahu kenapa kamu kepingin tahu. Tapi, gaji papa $20 per jam."
Dan si anak kecil tersenyum dan berkata, "Terima kasih, Pa....Sekarang, boleh saya pinjam $10?"
Si ayah pun hampir naik pitam lagi. Tapi ia ingat bahwa baru saja tadi ia marah. Ia menahan marahnya, mengambil dompet dan berkata, "Nih uangnya!"
Lalu si anak tersenyum, dan berkata, "Terima kasih, Pa...."
Segera ia bergegas mengambil recehan uang yang berjumlah $10 dari bawah bantalnya. Total uang $20 itu diberikannya kepada si ayah seraya berkata, "Papa, bolehkah saya minta 1 jam waktu Papa?"
~Ven Ajahn Brahm~
-- renungan harian
Diambil dari buku Horeee! Guru Si Cacing Datang
Hendra Widjaja
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
Mindfulness (penyadaran murni) itu penting. Untuk bisa menjaga penyadaran murni, Anda perlu banyak bermeditasi. Sebaliknya, jangan sampai Anda menenggak miras seperti anggur, bir, dan sebagainya, karena bisa menghilangkan penyadaran murni. Dan jangan-jangan, Anda malah berurusan dengan polisi. Berikut kisah nyata yang terjadi di Sydney, Australia.
Suatu ketika, ada seorang businessman yang menghadiri pesta sampai mabuk. Businessman kita bahwa di Australia ada hukuman berat bagi orang-orang yang melakukan drink-driving (nyetir mobil dalam keadaan mabuk). Tapi malam itu, si businessman mencoba peruntungannya, siapa tahu ia tidak dicegat polisi di jalan.
Namun sialnya, ternyata malam itu semua kendaraan di jalanan yang dilalui oleh si businessman diperikasa polisi. Tidak mungkin baginya untuk kabur karena kendaraan lain sudah mengantre di belakang kendaraannya. Dengan was-was, ia menunggu gilirannya.
Tatkala gilirannya tiba, oleh polisi ia dipersilakan uuntuk keluar dari mobilnya. Lalu, ia diberikan sebuah alat tes kadar alkohol serupa alat tiup untuk menguji kadar alkohol dalam napasnya. Tepat ketika ia baru hendak menghembuskan napasnya ke dalam alat itu, tiba-tiba terdengar suara berdentum di belakang. Ternyata ada mobil yang menabrak mobil lainnya. Segera polisi mengambil kembali alat tes itu seraya berkata, "Lebih baik kami mengurusi tabrakan itu daripada mengurusi kamu. Sekarang, kamu pulang saja!". Dengan perasaan plong, ia segera masuk ke mobil lalu tancap gas untuk pulang.
Keesokan paginya, ketika masih enak-enaknya tidur di kasur nan empuk, ia mendengar bel pintu rumahnya didering berkali-kali tanpa putus. Dengan perasaan jengkel, ia bergegas turun ke lantai bawah, lalu mebuka pintu depan. Alangkah kagetnya businessman kita ini tatkala melihat dua orang polisi berbadan besar berdiri di depan pintu rumahnya itu. Tapi si businessman berpikiran,"Kan aku tidak berbuat kesalahan apapun. Jadi, ngapain aku takut?"
Disapanya kedua polisi itu, "Yes, can I help you, Sir?" ("Ya, ada yang bisa Saya bantu, Pak?"). Salah satu polisi itu menjawab, "Apa kami bisa melihat garasi mobil Anda?" "Tentu saja!" jawab si businessman.
Tatkala businessman ini membukakan pintu garasi mobilnya, hampir saja jantungnya copot. Di dalam garasinya itu ternyata yang didapatinya bukan mobil miliknya, namun mobil polisi. Rupa-rupanya, malam sebelumnya, ketika diminta polisi untuk pulang, karena mabuk, bukannya ia masuk ke dalam mobilnya sendiri, tapi malahan ia salah masuk ke dalam mobil polisi.
Kalau tidak salah, orang itu masih mendekam di penjara sampai saat ini.
~Ven Ajahn Brahm~
Hendra Widjaja
Ehipassiko Foundation
Awareness Publication
Mindfulness (penyadaran murni) itu penting. Untuk bisa menjaga penyadaran murni, Anda perlu banyak bermeditasi. Sebaliknya, jangan sampai Anda menenggak miras seperti anggur, bir, dan sebagainya, karena bisa menghilangkan penyadaran murni. Dan jangan-jangan, Anda malah berurusan dengan polisi. Berikut kisah nyata yang terjadi di Sydney, Australia.
Suatu ketika, ada seorang businessman yang menghadiri pesta sampai mabuk. Businessman kita bahwa di Australia ada hukuman berat bagi orang-orang yang melakukan drink-driving (nyetir mobil dalam keadaan mabuk). Tapi malam itu, si businessman mencoba peruntungannya, siapa tahu ia tidak dicegat polisi di jalan.
Namun sialnya, ternyata malam itu semua kendaraan di jalanan yang dilalui oleh si businessman diperikasa polisi. Tidak mungkin baginya untuk kabur karena kendaraan lain sudah mengantre di belakang kendaraannya. Dengan was-was, ia menunggu gilirannya.
Tatkala gilirannya tiba, oleh polisi ia dipersilakan uuntuk keluar dari mobilnya. Lalu, ia diberikan sebuah alat tes kadar alkohol serupa alat tiup untuk menguji kadar alkohol dalam napasnya. Tepat ketika ia baru hendak menghembuskan napasnya ke dalam alat itu, tiba-tiba terdengar suara berdentum di belakang. Ternyata ada mobil yang menabrak mobil lainnya. Segera polisi mengambil kembali alat tes itu seraya berkata, "Lebih baik kami mengurusi tabrakan itu daripada mengurusi kamu. Sekarang, kamu pulang saja!". Dengan perasaan plong, ia segera masuk ke mobil lalu tancap gas untuk pulang.
Keesokan paginya, ketika masih enak-enaknya tidur di kasur nan empuk, ia mendengar bel pintu rumahnya didering berkali-kali tanpa putus. Dengan perasaan jengkel, ia bergegas turun ke lantai bawah, lalu mebuka pintu depan. Alangkah kagetnya businessman kita ini tatkala melihat dua orang polisi berbadan besar berdiri di depan pintu rumahnya itu. Tapi si businessman berpikiran,"Kan aku tidak berbuat kesalahan apapun. Jadi, ngapain aku takut?"
Disapanya kedua polisi itu, "Yes, can I help you, Sir?" ("Ya, ada yang bisa Saya bantu, Pak?"). Salah satu polisi itu menjawab, "Apa kami bisa melihat garasi mobil Anda?" "Tentu saja!" jawab si businessman.
Tatkala businessman ini membukakan pintu garasi mobilnya, hampir saja jantungnya copot. Di dalam garasinya itu ternyata yang didapatinya bukan mobil miliknya, namun mobil polisi. Rupa-rupanya, malam sebelumnya, ketika diminta polisi untuk pulang, karena mabuk, bukannya ia masuk ke dalam mobilnya sendiri, tapi malahan ia salah masuk ke dalam mobil polisi.
Kalau tidak salah, orang itu masih mendekam di penjara sampai saat ini.
~Ven Ajahn Brahm~
Jumat, 21 Januari 2011
"Aku Tak Pernah Meninggalkannya" --- renungan harian
Kisah yang menyentuh, tentang suami istri yang saling mencintai dan saling setia. Mudah-mudahan dapat menjadi renungan dan motivasi bersama di hari ini.
“Namaku Linda & aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat & mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua".
Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu disebuah acara resepsi pernikahan & kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk kedalam ruangan & saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan & kini mereka telah menikah selama 40 tahun & memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah & memberikan mereka dua orang cucu.
Mereka bahagia & selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih & kebijaksanaan.
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi kepembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik.
Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku,”Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian”.
Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku & selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi & menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, & dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.
Ayahku, seorang pria yang masih sehat diusianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, & ketika ibuku bertanya ,”untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua & jelek sekali”.
Ayahku menjawab, “aku ingin kau tetap merasa cantik”. Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan & kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yang tak pernah pudar.
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”…kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?” Aku menggeleng & ibuku melanjutkan, “karena aku tak pernah meninggalkannya…”
Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, & cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.
sumber: admin buddistzone
“Namaku Linda & aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat & mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua".
Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu disebuah acara resepsi pernikahan & kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk kedalam ruangan & saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan & kini mereka telah menikah selama 40 tahun & memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah & memberikan mereka dua orang cucu.
Mereka bahagia & selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih & kebijaksanaan.
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi kepembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik.
Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku,”Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian”.
Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku & selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi & menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, & dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.
Ayahku, seorang pria yang masih sehat diusianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, & ketika ibuku bertanya ,”untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua & jelek sekali”.
Ayahku menjawab, “aku ingin kau tetap merasa cantik”. Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan & kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yang tak pernah pudar.
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”…kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?” Aku menggeleng & ibuku melanjutkan, “karena aku tak pernah meninggalkannya…”
Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, & cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.
sumber: admin buddistzone
Senin, 17 Januari 2011
Empat Ekor kuda dan Empat jenis Manusia
Alkisah, suatu hari Budha Sakyamuni duduk di pondok sebuah hutan bambu. Para pengikutnya yang bepergian keluar meminta sedekah satu persatu sudah kembali. Mereka mengambil air di pinggir danau, mencuci bersih kaki dan tangan mereka dari debu selama perjalanan.
Mereka dengan tenang datang dan duduk bersila dihadapan Budha mendengar ceramah Budha. Budha duduk bersila dengan welas asih dan mulai bercerita kepada murid-muridnya.
Di dunia ini ada 4 jenis kuda, kuda yang pertama adalah kuda yang penurut, pemiliknya memasang pelana dan penutup mata. Sehari dia dapat berjalan ribuan kilometer, kecepatannya bagaikan meteor. Ketika pemiliknya mengangkat pecutnya (cambuk), melihat bayangan pecut dia sudah tahu kemauan pemiliknya. Kuda itu bergerak maju atau mundur, cepat atau lambat, segera memahami kemauan pemiliknya sehingga dengan cepat bisa mencapai tujuan. Dia adalah kuda penurut yang paling baik.
Jenis kuda yang kedua, ketika pemiliknya mengangkat pecutnya, dia melihat bayangan pecut, tetapi tidak segera bergerak. Ketika pecut tersebut memecut ke ekornya, dia baru tahu kemauan pemiliknya, lari dengan cepat, dapat dikatakan responnya cepat, merupakan seekor kuda kuat yang cukup baik.
Jenis kuda yang ketiga, tidak peduli pemiliknya berkali-kali melecutkan pecutnya, ketika melihat bayangan pecut, tidak mempunyai respon. Ketika perut bagaikan tetesan hujan memercut ke ekornya, dia masih tidak bergerak, responnya sangat lamban. Ketika pecutnya menghantam badannya dia baru sadar, bergerak sesuai dengan kemauan pemiliknya. Dia adalah seekor kuda dengan respon yang lamban.
Jenis kuda yang keempat, ketika pemiliknya membunyikan pecut, dia tidak peduli. Ketika pecut berkali-kali memercut ke badannya, dia masih tidak peduli. Ketika majikannya menjadi sangat marah dan menyepak kakinya. Akhirnya, Kuda itu merasa kesakitan hingga menusuk tulang, sekujur tubuhnya berdarah, dia baru tersadar dari mimpinya, berlari dengan membabi buta. Dia adalah seekor kuda yang susah diatur, respon lamban, bandel dan kuda yang sangat pemarah.
Bercerita sampai disana, sang Budha istirahat sejenak.
Dengan pandangan mata lembut memandang ke murid-muridnya. Melihat para muridnya dengan serius mendengarnya, di dalam hatinya merasa puas. Lalu Budha melanjutkan ceritanya.
”Para muridku! Ke empat jenis kuda ini bagaikan manusia yang mempunyai bakat dasar yang berbeda. Manusia yang pertama ketika mendengar perubahan didunia ini, kehidupan yang akan dimusnahkan oleh petaka, dengan cepat sadar, dengan giat berusaha berbuat lebih baik yang dapat merubah nasibnya. Seperti jenis kuda yang pertama, melihat bayangan pecut sudah dapat melesat kedepan dengan cepat, tidak menunggu pecutan maut merengut nyawanya baru menyesal kemudian.”
“Jenis manusia yang kedua, melihat kehidupan di dunia ini yang beraneka ragam, nasib baik dan nasib malang yang menimpa, kelahiran dan kematian, dengan cepat dapat memecut diri sendiri dengan cepat berbuat lebih baik lagi. Seperti jenis kuda yang kedua, percut baru mengena ke ekornya segera sadar dan melesat lari dengan cepat mencapai tujuan.”
“Jenis manusia yang ketiga, melihat sanak keluarga dan kerabat sebelum meninggal terjangkit penyakit menanggung penderita tubuh yang membusuk dan kesakitan sampai meninggal, baru sadar dan mulai menghargai kehidupan dan berbuat lebih baik. Seperti jenis kuda yang ketiga ketika merasakan percutkan yang sangat menyakitkan segenap tubuh baru tersadar, responnya sangat lamban.”
“Sedangkan jenis manusia keempat, jika diri sendiri yang terkena penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan maut sedang menanti, pada saat ini baru menyesal. Kenapa dahulu tidak berusaha berbuat lebih baik, menyia-yiakan kehidupan di dunia ini. Seperti jenis kuda yang keempat, ketika kesakitan bagaikan menusuk ke tulang, baru berlari dengan cepat. Tetapi semua itu sudah terlambat.” (Erabaru/hui)
sumber : http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/16386-empat-ekor-kuda-dan-empat-jenis-manusia#comments
Mereka dengan tenang datang dan duduk bersila dihadapan Budha mendengar ceramah Budha. Budha duduk bersila dengan welas asih dan mulai bercerita kepada murid-muridnya.
Di dunia ini ada 4 jenis kuda, kuda yang pertama adalah kuda yang penurut, pemiliknya memasang pelana dan penutup mata. Sehari dia dapat berjalan ribuan kilometer, kecepatannya bagaikan meteor. Ketika pemiliknya mengangkat pecutnya (cambuk), melihat bayangan pecut dia sudah tahu kemauan pemiliknya. Kuda itu bergerak maju atau mundur, cepat atau lambat, segera memahami kemauan pemiliknya sehingga dengan cepat bisa mencapai tujuan. Dia adalah kuda penurut yang paling baik.
Jenis kuda yang kedua, ketika pemiliknya mengangkat pecutnya, dia melihat bayangan pecut, tetapi tidak segera bergerak. Ketika pecut tersebut memecut ke ekornya, dia baru tahu kemauan pemiliknya, lari dengan cepat, dapat dikatakan responnya cepat, merupakan seekor kuda kuat yang cukup baik.
Jenis kuda yang ketiga, tidak peduli pemiliknya berkali-kali melecutkan pecutnya, ketika melihat bayangan pecut, tidak mempunyai respon. Ketika perut bagaikan tetesan hujan memercut ke ekornya, dia masih tidak bergerak, responnya sangat lamban. Ketika pecutnya menghantam badannya dia baru sadar, bergerak sesuai dengan kemauan pemiliknya. Dia adalah seekor kuda dengan respon yang lamban.
Jenis kuda yang keempat, ketika pemiliknya membunyikan pecut, dia tidak peduli. Ketika pecut berkali-kali memercut ke badannya, dia masih tidak peduli. Ketika majikannya menjadi sangat marah dan menyepak kakinya. Akhirnya, Kuda itu merasa kesakitan hingga menusuk tulang, sekujur tubuhnya berdarah, dia baru tersadar dari mimpinya, berlari dengan membabi buta. Dia adalah seekor kuda yang susah diatur, respon lamban, bandel dan kuda yang sangat pemarah.
Bercerita sampai disana, sang Budha istirahat sejenak.
Dengan pandangan mata lembut memandang ke murid-muridnya. Melihat para muridnya dengan serius mendengarnya, di dalam hatinya merasa puas. Lalu Budha melanjutkan ceritanya.
”Para muridku! Ke empat jenis kuda ini bagaikan manusia yang mempunyai bakat dasar yang berbeda. Manusia yang pertama ketika mendengar perubahan didunia ini, kehidupan yang akan dimusnahkan oleh petaka, dengan cepat sadar, dengan giat berusaha berbuat lebih baik yang dapat merubah nasibnya. Seperti jenis kuda yang pertama, melihat bayangan pecut sudah dapat melesat kedepan dengan cepat, tidak menunggu pecutan maut merengut nyawanya baru menyesal kemudian.”
“Jenis manusia yang kedua, melihat kehidupan di dunia ini yang beraneka ragam, nasib baik dan nasib malang yang menimpa, kelahiran dan kematian, dengan cepat dapat memecut diri sendiri dengan cepat berbuat lebih baik lagi. Seperti jenis kuda yang kedua, percut baru mengena ke ekornya segera sadar dan melesat lari dengan cepat mencapai tujuan.”
“Jenis manusia yang ketiga, melihat sanak keluarga dan kerabat sebelum meninggal terjangkit penyakit menanggung penderita tubuh yang membusuk dan kesakitan sampai meninggal, baru sadar dan mulai menghargai kehidupan dan berbuat lebih baik. Seperti jenis kuda yang ketiga ketika merasakan percutkan yang sangat menyakitkan segenap tubuh baru tersadar, responnya sangat lamban.”
“Sedangkan jenis manusia keempat, jika diri sendiri yang terkena penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan maut sedang menanti, pada saat ini baru menyesal. Kenapa dahulu tidak berusaha berbuat lebih baik, menyia-yiakan kehidupan di dunia ini. Seperti jenis kuda yang keempat, ketika kesakitan bagaikan menusuk ke tulang, baru berlari dengan cepat. Tetapi semua itu sudah terlambat.” (Erabaru/hui)
sumber : http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/16386-empat-ekor-kuda-dan-empat-jenis-manusia#comments
Hukuman Paling Berat -- renungan harian
Ketika tamat kuliah, saya mempunyai seorang teman kuliah yang sangat baik mendapatkan kesempatan kerja di sebuah perusahaan
---------------------------------------------------------------------
kunjungi http://www.dhammadharini.net/
web komunitas bhikkhuni dari seluruh dunia
---------------------------------------------------------------------
export import yang terkenal. Tak disangka, ayah saya lalu menggunakan hubungan relasi menempatkan saya untuk menggantikan tempat teman baik saya ini sehingga ia tidak bisa bekerja disana.
Disebabkan kehendak ayah yang sangat keras, saya tidak berani menentangnya, juga tak berani mengontak teman baik saya lagi tersebut. Saya percaya dia pasti sangat membenci saya.
Akhirnya saya mendapat kabar, bahwa dia ditempatkan disebuah kota kecil di sebuah perusahaan export import yang lebih kecil, gajinya jauh lebih kecil dari saya, setelah mendengar kabar itu hati saya semakin tidak enak.
Beberapa puluh tahun kemudian saya ditugaskan mengikuti seminar di luar negeri. Tidak disangka teman baik saya juga diundang, malahan kami berdua ditempatkan dalam satu kamar bersama.
Ternyata, dia sama sekali tidak marah atau mendendam, malahan dia menggenggam kedua telapak tangan saya dengan terharu berkata, ”Sudah tidak bertemu beberapa tahun, tidak sangka ya disini bisa bertemu dengan lagi.” Lalu dia mentraktir saya makan malam, sebagai perayaan karena sudah lama tidak bertemu, kami makan sambil mengobrol panjang lebar.
Setelah mengobrol cukup lama, saya sangat kagum kepada sifat pemaafnya yang tulus ikhlas dan sifat terpelajarnya. Malahan saya merasa sangat bersalah dan sangat malu kepada jiwa picik dan pikiran kotor saya sendiri.
Mulai saat itu saya mengerti, hukuman paling berat bukan dengan cacian menghina dan memukul sebagai balas dendam, tetapi adalah sifat pemaaf dan lapang dada yang tidak terbatas yang ditunjukkan seseorang yang pernah kita rugikan. (Erabaru/hui)
Sumber :
http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/19542-hukuman-paling-berat
---------------------------------------------------------------------
kunjungi http://www.dhammadharini.net/
web komunitas bhikkhuni dari seluruh dunia
---------------------------------------------------------------------
export import yang terkenal. Tak disangka, ayah saya lalu menggunakan hubungan relasi menempatkan saya untuk menggantikan tempat teman baik saya ini sehingga ia tidak bisa bekerja disana.
Disebabkan kehendak ayah yang sangat keras, saya tidak berani menentangnya, juga tak berani mengontak teman baik saya lagi tersebut. Saya percaya dia pasti sangat membenci saya.
Akhirnya saya mendapat kabar, bahwa dia ditempatkan disebuah kota kecil di sebuah perusahaan export import yang lebih kecil, gajinya jauh lebih kecil dari saya, setelah mendengar kabar itu hati saya semakin tidak enak.
Beberapa puluh tahun kemudian saya ditugaskan mengikuti seminar di luar negeri. Tidak disangka teman baik saya juga diundang, malahan kami berdua ditempatkan dalam satu kamar bersama.
Ternyata, dia sama sekali tidak marah atau mendendam, malahan dia menggenggam kedua telapak tangan saya dengan terharu berkata, ”Sudah tidak bertemu beberapa tahun, tidak sangka ya disini bisa bertemu dengan lagi.” Lalu dia mentraktir saya makan malam, sebagai perayaan karena sudah lama tidak bertemu, kami makan sambil mengobrol panjang lebar.
Setelah mengobrol cukup lama, saya sangat kagum kepada sifat pemaafnya yang tulus ikhlas dan sifat terpelajarnya. Malahan saya merasa sangat bersalah dan sangat malu kepada jiwa picik dan pikiran kotor saya sendiri.
Mulai saat itu saya mengerti, hukuman paling berat bukan dengan cacian menghina dan memukul sebagai balas dendam, tetapi adalah sifat pemaaf dan lapang dada yang tidak terbatas yang ditunjukkan seseorang yang pernah kita rugikan. (Erabaru/hui)
Sumber :
http://erabaru.net/cerita-budi-pekerti/71-cerita-budi-pekerti/19542-hukuman-paling-berat
Langganan:
Postingan (Atom)